Rano Alfath DPR RI , Gugat Kata “Dapat” Demi KUHP yang Lebih Pasti

Jakarta , Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Moh. Rano Alfath, menyampaikan pandangannya mengenai urgensi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pandangannya, pembaruan ini bukan sekadar pembaruan teknis peraturan, melainkan merupakan tonggak penting dalam upaya menghadirkan sistem hukum pidana yang lebih adil, humanis, dan kontekstual dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini.
Berbicara dalam forum rapat kerja Komisi III DPR bersama Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, Rano menegaskan bahwa pembaruan terhadap KUHP dan Undang-Undang Pemasyarakatan perlu segera dilakukan. Menurutnya, kedua regulasi tersebut telah lama mengalami ketertinggalan dan tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi sosial-politik serta semangat hukum modern di Indonesia.
“Saya rasa revisi atas kedua regulasi ini sudah mendesak,” ujarnya, seperti dikutip dari laman nu.or.id.
Lebih lanjut, Rano menyoroti secara spesifik salah satu poin krusial dalam Rancangan KUHP, yakni Pasal 100 yang mengatur mengenai pidana mati. Dalam pasal tersebut sebelumnya terdapat frasa “dapat” yang membuka kemungkinan pemberian pidana mati bersifat opsional atau alternatif. Rano, bersama sejumlah anggota Komisi III dari fraksi lain, mendorong agar frasa tersebut dihapus demi mempertegas substansi pasal dan menghindari multi-tafsir.
“Sepakat dengan teman-teman di NasDem, Gerindra, dan lainnya terkait dengan menghapus kata ‘dapat’. Yang pertama soal mempertegas substansi Pasal 100 ini supaya menjadi konsisten dan mempertegas makna yang ada dalam Pasal 100. Sehingga tidak ada pro-kontra di kemudian hari,” jelasnya, sebagaimana dilansir detik.com.
Menurut Rano, penghapusan frasa tersebut merupakan bagian dari upaya legislatif untuk membangun fondasi hukum pidana yang tegas namun tetap mempertimbangkan keadilan substantif. Ia juga menegaskan bahwa proses perumusan dan revisi KUHP telah melewati jalur panjang, melibatkan banyak diskusi, dialog publik, serta masukan dari berbagai unsur masyarakat.
“Tapi prosesnya yang kita lalui itu, sudah melalui banyak diskusi dan masukan dari semua pihak. Jadi kalau sekarang ribut-ribut kita memang memahami, karena tidak semua masyarakat puas,” ujarnya, dikutip dari rctiplus.com.
Rano menyadari bahwa perbedaan pandangan terhadap beberapa pasal merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Namun, ia berharap bahwa hasil akhir revisi KUHP ini dapat menjadi instrumen hukum yang lebih mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional.
Polri menurutnya memiliki peran sentral dalam menjaga keamanan, ketertiban, dan menegakkan hukum di Indonesia. Namun, untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, penguatan Polri sebagai lembaga penegak hukum perlu terus dilakukan, baik dari sisi internal maupun eksternal.
Secara internal, Polri menurutnya harus terus memperkuat integritas, transparansi, dan profesionalisme dalam setiap lini pelayanannya. Pembenahan sistem rekrutmen, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pembinaan mental dan etika personel menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda.
Di sisi lain, kata dia penguatan regulasi melalui revisi Undang-Undang Polri menjadi langkah penting untuk memperkuat legitimasi dan kewenangan institusi ini secara hukum. Revisi ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan zaman, memperjelas batas kewenangan, meningkatkan akuntabilitas, serta menjamin perlindungan hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas Polri. Dengan regulasi yang lebih adaptif dan progresif, Polri dapat bertransformasi menjadi institusi yang semakin profesional, modern, dan dicintai masyarakat.
“Penguatan Polri bukan hanya kebutuhan institusional, tetapi juga merupakan prasyarat bagi terwujudnya keadilan, stabilitas nasional, serta pembangunan yang berkelanjutan. Sebab, Polri yang kuat, adil, dan profesional adalah cerminan negara yang demokratis dan beradab,” jelasnya.
Penulis: tim
Redaktur:lutfi